https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/issue/feed Jurnal Riset Ilmu Hukum 2023-12-15T00:00:00+08:00 Eka An Aqimuddin uptpublikasi@unisba.ac.id Open Journal Systems <p><a title="JRIH" href="https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH" target="_blank" rel="noopener"><strong>Jurnal Riset Ilmu Hukum</strong> (JRIH)</a> adalah jurnal <em>peer review</em>&nbsp;dan dilakukan dengan&nbsp;<em>double blind review </em>yang mempublikasikan kajian hasil riset dan teoritik terhadap isu empirik dalam sub kajian ilmu hukum pidana dan perdata.&nbsp; <a title="Jurnal Riset Ilmu Hukum" href="https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH" target="_blank" rel="noopener"><strong>JRIH</strong></a> ini dipublikasikan pertamanya 2021 dengan&nbsp; eISSN <a title="eISSN JRIH" href="https://issn.lipi.go.id/terbit/detail/20210714291631237" target="_blank" rel="noopener">2798-6055</a> yang diterbitkan oleh <strong><a title="UPT Publikasi" href="https://publikasi.unisba.ac.id/" target="_blank" rel="noopener">UPT Publikasi Ilmiah</a></strong>,&nbsp;<a title="unisba" href="https://www.unisba.ac.id/" target="_blank" rel="noopener">Universitas Islam Bandung</a>. Semua artikel diperiksa plagiasinya dengan perangkat lunak anti plagiarisme. Jurnal ini&nbsp; ter-<em>indeks</em>&nbsp;di&nbsp;<a title="GS JRIH" href="https://scholar.google.com/citations?hl=id&amp;authuser=2&amp;user=CncKEbgAAAAJ" target="_blank" rel="noopener">Google Scholar</a>,&nbsp;<a title="Id Garuda" href="https://garuda.ristekbrin.go.id/publisher/view/56" target="_blank" rel="noopener">Garuda</a>,&nbsp;<a title="doi" href="https://search.crossref.org/?q=unisba&amp;from_ui=yes" target="_blank" rel="noopener">Crossref</a>, dan&nbsp;<a title="DOAJ" href="https://doaj.org/search/journals?ref=quick-search&amp;source=%7B%22query%22%3A%7B%22filtered%22%3A%7B%22filter%22%3A%7B%22bool%22%3A%7B%22must%22%3A%5B%7B%22terms%22%3A%7B%22bibjson.publisher.name.exact%22%3A%5B%22Universitas%20Islam%20Bandung%22%5D%7D%7D%5D%7D%7D%2C%22query%22%3A%7B%22query_string%22%3A%7B%22query%22%3A%22universitas%20islam%20bandung%22%2C%22default_operator%22%3A%22AND%22%2C%22default_field%22%3A%22bibjson.publisher.name%22%7D%7D%7D%7D%7D" target="_blank" rel="noopener">DOAJ</a>.&nbsp; Terbit setiap <strong>Juli</strong> dan <strong>Desember</strong>.</p> https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/article/view/2761 Tanggungjawab Pelaku Usaha terhadap Konsumen Pengguna Kosmetik Berbahaya Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999 2023-10-16T15:03:56+08:00 Aruna Fatma Hidayah Sumintardirja Arunaft10@gmail.com Liya Sukma Muliya liyamuliya59@gmail.com <p>ABSTRACT- Cosmetics are an essential need for everyone, especially women. Cosmetics must be adjusted to skin type, age, and amount of usage in daily life so as not to leave unwanted side effects. Skin whitening is a cosmetic product used by women. Manufacturers are not responsible for cosmetic products, which sometimes contain dangerous skin whitening chemicals. Long-term exposure to harmful compounds, such as mercury (Hg), can harm organs and cause cancer. This study aims to determine the responsibility of lc beauty cosmetic business actors towards consumers who feel aggrieved based on UUPK, and legal protection for consumers of lc beauty cosmetic prod-ucts who feel aggrieved based on UUPK. Based on the results of the research that has been con-ducted, Article 8 paragraph (2) and paragraph (3) of UUPK prohibit business actors from trading products that have expired, damaged, contaminated, or damaged without providing correct and complete information about the product. Then Article 19 of UUPK obliges business actors to bear responsibility for compensating consumers for losses arising from the use of products they trade. Article 4 paragraphs (1), (3) of UUPK explains consumer rights as a guarantee or legal protection, which includes the right to use goods and services so that they feel comfortable, safe, and secure when consuming them and get correct, clear, and honest information.<em> </em></p> <p><strong>ABSTRAK-</strong></p> <p class="07StyleBodyAbstrak" style="line-height: normal;"><span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;">Kosmetik adalah kebutuhan penting bagi setiap orang, terutama kaum wanita. Kosmetik harus disesuaikan dengan jenis kulit, umur, dan jumlah pemakaian dalam sehari-hari agar tidak meninggalkan efek samping yang tidak diinginkan. Pemutih wajah adalah produk kosmetik yang digunakan oleh wanita. Produsen tid-ak bertanggung jawab terhadap produk kosmetik, terkadang mengandung bahan kimia pemutih kulit yang berbahaya. Paparan jangka panjang terhadap senyawa berbahaya, seperti logam merkuri (Hg), dapat membahayakan organ dan menimbulkan penyakit kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha produk kosmetik lc beauty terhadap konsumen yang merasa dirugikan ber-dasarkan UUPK, dan perlindungan hukum bagi konsumen pemakai produk kosmetik lc beauty yang me-rasa dirugikan berdasarkan UUPK. Berdasarkan hasil penelitian, Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUPK melarang pelaku bisnis memperdagangkan produk yang sudah kadaluwarsa, rusak, terkontaminasi, atau rusak tanpa memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang produk tersebut. Kemudian Pasal 19 UUPK mewajibkan pelaku usaha memikul tanggung jawab untuk mengganti kerugian konsumen yang timbul akibat penggunaan produk yang diperdagangkannya. Pasal 4 ayat (1),(3) UUPK menjelaskan hak konsumen sebagai jaminan atau perlindungan hukum, yang mencakup hak untuk menggunakan barang dan jasa sehingga mereka merasa nyaman, aman, dan aman saat mengonsumsinya dan mendapat informa-si yang benar, jelas, dan jujur.</span></p> 2023-12-23T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Riset Ilmu Hukum https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/article/view/2762 Penegakan Hukum Pelaku Pelecehan Seksual terhadap Anak Dibawah Umur Penyandang Disabilitas di Yogyakarta 2023-10-16T20:57:26+08:00 Aura Aulia Putri S. Auraauliaputris@gmail.com Sri Poedjiastuti sri.poedjiastoeti@unisba.ac.id <p>ABSTRACT-Children are a gift from God that must be safeguarded because they have dignity and human rights that must be protected. Children with disabilities are at a higher risk of harassment and criminal behavior. This study aims to determine the factors that cause criminal acts of sexual harassment or sexual violence against minors with disabilities in Yogyakarta City, the implementation of law enforcement against perpetrators of criminal acts of sexual harassment or sexual violence against minors with disabilities in Yogyakarta City. Based on the results of the research, the factors that cause sexual harassment or sexual violence based on the cases studied are: The desire factor of the perpetrator, the lack of understanding and education about sex both the perpetrator and the victim, the environmental factors that support the crime, and the low morality of the perpetrator. The implementation of law enforcement against perpetrators of sexual harassment or sexual violence based on Child Protection Law Number 35 of 2014, in the case studied by the author has not been fully implemented because the perpetrator has not been caught due to the absence of more efforts from the authorities to resolve this case.</p> <p>ABSTRAK-<span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;">Anak adalah karunia Tuhan yang harus dijaga karena memiliki harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang wajib dilindungi. Anak disabilitas merupakan anak yang mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh anak-anak lain pada umumnya. Anak penyandang disabilitas memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan dan tindakan pidana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya tindak pidana pelecehan seksual atau kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta, implementasi penegakan hukum terhadap pelaku pelecehan seksual atau kekerasan seksual terhadap </span><span lang="SV">anak dibawah umur penyandang disabilitas di Kota</span><span lang="SV" style="letter-spacing: .2pt;"> Yogyakarta.Berdasarkan hasil</span><span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;"> penelitian faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual atau kekerasan seksual berdasarkan kasus yang diteliti yaitu: Faktor keinginan dari pelaku, faktor kurangnya pemahaman dan pendidikan mengenai seks baik pelaku maupun korban, faktor lingkungan yang mendukung kejahatan tersebut terjadi, dan faktor rendah nya moralitas pelaku. Implementasi penegakan </span><span lang="SV" style="letter-spacing: -.3pt;">hukum terhadap pelaku pelecehan seksual atau kekerasan seksual</span><span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;"> berdasarkan Undang-undag Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, dalam kasus yang diteliti oleh penuls belum erlaksana dengan sepenuhnya dikarenakan pelaku hingga sekarang belum tertangkap karena tidak adanya usaha lebih dari aparat untuk menyelesaikan kasus ini). </span></p> 2023-12-23T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Riset Ilmu Hukum https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/article/view/2768 Perlindungan Hukum terhadap Anak dari Kekerasan Seksual di Lingkungan Pesantren 2023-10-16T21:04:05+08:00 Lyza Sari Rahayu lyzasari55@gmail.com <p><strong><em>ABSTRACT- </em></strong>Sexual violence against children often occurs in educational environments, especially in pesantren. Pesantren, which should be a place to seek religious knowledge, especially Islamic religious education, has become a frightening place filled with child predators. This study aims to determine the legal protection of sexual violence against children in pesantren based on Law Number 12 of 2022 concerning Sexual Violence and Law Number 35 of 2014 concerning Child Protection. In addition, this study also aims to find out how to prevent sexual violence against children in pesantren. Based on the results of the research that has been conducted, legal protection for children from sexual violence is reviewed in Article 20 of Law Number 35 of 2014 concerning Child Protection, which states that the State, Government, Regional Government, Society, Family, and Parents or Guardians are obliged and responsible for the implementation of Child Protection. In addition, Article 54 also explains that children in educational units must be protected from all forms of violence, including sexual violence. Children are also protected under Law Number 12 of 2022 concerning Sexual Violence, which is related to the punishment or sanctions given to perpetrators by adding 1/3 of the criminal provisions.</p> <p><strong>ABSTRAK-</strong><span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;">Tindakan kekerasan seksual yang terjadi pada anak banyak terjadi di lingkungan pendidikan, terutama di lingkungan pendidikan pesantren. Pesantren yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu agama, khususnya pendidikan agama Islam, menjadi tempat yang menakutkan dipenuhi para predator anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pesantren berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pesantren. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, perlindungan hukum terhadap anak dari kekerasan seksual ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak di Pasal 20 bahwa Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak. Selain itu, Pasal 54 juga memberikan penjelasan bahwa Anak di dalam lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari segala jenis bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual. Anak dilindungi juga dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, hal ini terkait pemidanaan atau sanksi yang diberikan kepada pelaku dengan menambah 1/3 dari ketentuan pidana.</span></p> <p>.</p> 2023-12-24T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Riset Ilmu Hukum https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/article/view/2769 Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual oleh Anggota TNI terhadap Anak 2023-10-17T23:34:43+08:00 Deisya Devita Mayshanda devitadeisya@gmail.com Dini Dewi Heniarti dini.dewiheniarti@gmail.com <p><strong>ABSTRACT</strong>-</p> <p>Error or criminal responsibility is a requirement for criminalization or imposition of criminal sanctions on perpetrators of criminal acts, in addition to criminal acts as the first requirement for criminalization. The judge’s consideration plays an important role in determining the value of the judge’s decision, especially in terms of justice and legal certainty. This study aims to determine the criminal responsibility of perpetrators of sexual harassment by members of the Indonesian National Army reviewed from Law No. 35 of 2014 and the judge’s consideration in the case of sexual harassment by members of the Indonesian National Army Decision Number 35-K/PM.I-07/AD/VI/2022 is in accordance with the purpose of criminalization. This research uses a descriptive qualitative approach. The type of research is normative juridical, the research specification is descriptive-analytical, and uses library research data collection techniques. The criminal responsibility of perpetrators of sexual harassment by members of the Indonesian National Army with Decision Number 35-K/PM.I-07/AD/VI/2022, is in accordance with the provisions of Article 81 paragraph (2). However, regarding the Judge’s Consideration in the case of sexual harassment by members of the Indonesian National Army Decision Number 35-K/PM.I-07/AD/VI/2022 has not yet been in accordance with the purpose of criminalization, where the Panel of Judges imposed sanctions below the minimum which will not give a deterrent effect that can prevent sexual harassment of children.</p> <p><strong>ABSTRAK</strong>-<span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;">Kesalahan atau pertanggungjawaban pidana merupakan syarat pemidanaan atau pengenaan pidana kepada pelaku tindak pidana, di samping tindak pidana sebagai syarat pemidanaan yang pertama. Pertimbangan hakim sangat penting dalam menentukan nilai putusan hakim, terutama dalam hal keadilan </span><span lang="SV" style="letter-spacing: .1pt;">dan kepastian hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui</span><span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;"> pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pelecehan seksual oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia ditinjau dari UU No. 35 Tahun 2014 dan pertimbangan hakim dalam kasus tindak pidana pelecehan seksual oleh </span><span lang="SV" style="letter-spacing: -.3pt;">Anggota Tentara Nasional Indonesia Putusan Nomor 35-K/PM.I-</span><span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;">07/AD/VI/2022 sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan. Penelitian ini menggunakan </span><span lang="SV" style="letter-spacing: -.3pt;">pendekatan dengan metode kualitatif yang sifatnya deskriptif. Jenis</span><span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;"> penelitiannya Yuridis Normatif, spesifikasi penelitian bersifat Deskriptif-Analitis, dan menggunakan teknik pengumpulan data kepustakaan </span><span lang="SV" style="letter-spacing: -.3pt;">(Library Research). Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana</span><span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;"> pelecehan seksual oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia dengan Putusan Nomor 35-K/PM.I-07/AD/VI/2022, sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat (2). Akan </span><span lang="SV" style="letter-spacing: -.3pt;">tetapi terkait dengan Pertimbangan Hakim dalam kasus tindak pidana</span><span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;"> pelecehan seksual oleh </span><span lang="SV" style="letter-spacing: -.3pt;">Anggota Tentara Nasional Indonesia Putusan Nomor 35-K/PM.I-</span><span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;">07/AD/VI/2022 belum sesuai dengan tujuan pemidanaan, di mana Majelis Hakim menjatuhkan sanksi dibawah minimal yang merupakan tidak akan memberi efek jera yang dapat mencegah terjadinya pelecehan seksual pada anak.</span></p> 2023-12-23T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Riset Ilmu Hukum https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/article/view/2803 Tanggung Jawab Negara terhadap Pelanggaran Ruang Udara yang Dilakukan Balon Udara 2023-10-17T23:40:29+08:00 Naza Muhammad Zakwan nazamuhamad5@gmail.com Iman Sunendar iman.sunendar@unisba.ac.id <p><strong>Abstract</strong>. This research is motivated by a violation of sovereignty in airspace by hot air balloons. Each country has full and exclusive sovereignty over the air space above its territory as regulated in Article 1 of the 1944 Chicago Convention. Any country that violates state sovereignty will incur state responsibility. This study aims to understand how hot air balloons are positioned according to the 1944 Chicago Convention and what state responsibility is for violations of airspace by hot air balloons according to the 1944 Chicago Convention. This research uses normative juridical methods, with library data or secondary data which includes primary, secondary legal materials , and tertiary. The results obtained are: (1) The position of the hot air balloon is an aircraft regulated in Appendix 2 of the 1944 Chicago Convention and the hot air balloon is included in an aircraft that is lighter than air. Unmanned free balloons can only be flown under certain conditions listed in Appendix 4 Point 2 (General Operating Rules) in Annex 2 Rules of The Air. Therefore, every country that flies its hot air balloon has the obligations contained in the 1944 Chicago Convention. (2) In the context of civil anger, the country that experienced the violation is not allowed to take unlimited countermeasures such as the use of weapons. Airspace violations committed by state aircraft will incur the responsibility of the violating state. Some of these forms of accountability include an apology, a promise to punish the individual responsible, a promise not to repeat the violation, as well as other sanctions such as the seizure of the offender's plane and the imprisonment of the flight crew. Keywords: Violation of air space, Hot air balloon, State responsibility</p> <p><strong>Abstrak.</strong> Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya pelanggaran kedaulatan di ruang udara oleh balon udara. Setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya itu diatur dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Setiap negara yang melanggar kedaulatan negara akan menimbulkan tanggung jawab negara. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana kedudukan balon udara menurut Konvensi Chicago 1944 serta bagaimana tanggung jawab negara atas pelanggaran ruang udara oleh balon udara menurut Konvensi Chicago 1944. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan data kepustakaan atau data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil yang diperoleh yakni: (1) Kedudukan balon udara merupakan pesawat udara diatur dalam annex 2 Konvensi Chicago 1944 dan balon udara termasuk kedalam pesawat udara yang lebih ringan dari udara. Unmanned free balloon hanya dapat diterbangkan dalam kondisi tertentu terdapat pada Appendix 4 Point 2 (General Operating Rules) dalam Annex 2 Rules of The Air. Maka dari itu setiap negara yang menerbangkan balon udaranya memiliki kewajiban yang tertuang didalam Konvensi Chicago 1944. (2) Dalam konteks penerbangan sipil, negara yang mengalami pelanggaran kedaulatannya tidak diperbolehkan mengambil tindakan balasan yang tidak terbatas seperti penggunaan senjata. Pelanggaran ruang udara yang dilakukan oleh pesawat negara akan menimbulkan tanggung jawab negara pelanggar. Beberapa bentuk pertanggungjawaban tersebut antara lain permintaan maaf, janji untuk mempidanakan individu yang bertanggung jawab, janji untuk tidak mengulangi pelanggaran, serta sanksi-sanksi lainnya seperti perampasan pesawat pelanggar dan pemenjaraan awak pesawat. Kata Kunci: Pelanggaran ruang udara, Balon udara, Tanggung jawab negara</p> 2023-12-24T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Riset Ilmu Hukum https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/article/view/2804 Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Pemerkosaan Anak Dibawah Umur yang Dilakukan Ayah Tiri 2023-10-17T23:44:00+08:00 Andri Maulana Hakim Mustapa andrimhakimm666@gmail.com <p><strong>ABSTRACT</strong><strong>-</strong></p> <p>Children are the next generation of the nation and need protection from the state, parents and society. However, there are still many cases of criminal acts involving children as victims, especially cases of sexual abuse and rape. Parents who are supposed to protect children from various types of criminal acts actually become perpetrators of criminal acts of rape. The perpetrator of rape of a minor committed by a stepfather can be punished with imprisonment for a minimum of 5 years and a maximum of 15 years and a maximum fine of Rp. 5,000,000,000,- (five billion rupiah) plus 1/3 of the criminal penalty according to Law Number 35 of 2014 concerning Child Protection (UUPA) Article 81. To reduce criminal acts of sexual violence against minors, preventive efforts, repressive efforts, and reformative efforts can be made. Preventive efforts include counseling conducted by the Police, Non-Governmental Organizations (NGOs), and so on. While repressive efforts include juridical, social, and spiritual sanctions that are commensurate with the actions taken and prioritize the principle of justice.</p> <p><strong>ABSTRAK-</strong> Anak merupakan penerus generasi bangsa dan memerlukan perlindungan dari negara, orang tua, dan masyarakat. Namun, masih banyak kasus tindak pidana yang melibatkan anak sebagai korban, terutama kasus pencabulan dan pemerkosaan. Orang tua yang seharusnya melindungi anak dari berbagai jenis tindak pidana justru menjadi pelaku tindak pidana pemerkosaan. Pelaku pemerkosaan anak di bawah umur yang dilakukan oleh ayah tiri dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) ditambah 1/3 dari ancaman pidana menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (UUPA) Pasal 81. Untuk mengurangi tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, dapat dilakukan upaya preventif, upaya represif, dan upaya reformatif. Upaya preventif meliputi penyuluhan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan lain sebagainya. Sedangkan upaya represif meliputi pemberian sanksi secara yuridis, sosial, dan spiritual yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukan serta mengedepankan asas keadilan</p> 2023-12-24T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Riset Ilmu Hukum https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/article/view/2872 Kebijakan Kriminal terhadap Penanggulangan Kekerasan Seksual Kepada Anak Dihubungkan dengan Perlindungan Anak 2023-10-18T23:56:56+08:00 Muhammad Bayu Sutantiyo bayusutantiyo@gmail.com <p>ABSTRACT-<em>.</em>Children are the next generation who have the rights and obligations to participate in developing the Indonesian state and nation. Over the past 10 months, 11,149 cases of violence against children were recorded, which means there is an average of 1,000 cases per day. From this data, there were 8,712 female victims and 3,500 male victims. Therefore, a criminal policy is needed to overcome the problem of sexual violence against children. This research aims to find out the criminal policy to overcome child sexual abuse if it is related to child protection and to find out the preventive steps to overcome child sexual abuse. The results of this study show that protecting children both as perpetrators and victims of crime is a reason for the government, society, and families to ensure the growth and development of children in a conducive atmosphere. In the prevention of sexual violence against children, there are two ways that can be taken, namely preventive efforts in the form of counselling, providing extra protection, and more attention to children, providing education and religious lectures and increasing security in places prone to criminal acts and Repressive efforts in the form of providing protection to children who are victims of criminal acts and punishment to the perpetrators for what they have done to provide a deterrent effect by entering the perpetrators into the Penitentiary Institution.</p> <p>ABSTRAK-</p> <p>Anak adalah generasi penerus yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta membangun negara dan bangsa Indonesia. Selama 10 bulan terakhir, tercatat 11.149 kasus kekerasan terhadap anak, yang berarti terdapat rata-rata 1.000 kasus per hari. Dari data tersebut, tercatat korban anak perempuan sebanyak 8.712 orang dan anak laki-laki sebanyak 3.500 orang. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan kriminal untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan kriminal penanggulangan kekerasan seksual pada anak jika dihubungkan dengan perlindungan anak dan mengetahui langkah preventif guna menanggulangi kekerasan seksual pada anak. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa melindungi anak baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan merupakan alasan bagi pemerintah, masyarakat, dan keluarga untuk menjamin tumbuh kembang anak dalam suasana yang kondusif. Dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak, ada dua cara yang dapat ditempuh, yakni upaya preventif berupa penyuluhan, memberikan perlindungan ekstra, dan perhatian lebih pada anak , memberikan pendidikan dan ceramah agama serta meningkatkan keamanan di tempat yang rawan terjadi tindak pidana dan upaya Represif berupa memberikan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban dari tindak pidana serta hukuman kepada pelaku atas apa yang telah dilakukannya untuk memberikan efek jera dengan cara memasukan pelaku ke dalam Lembaga Kemasyarakatan.</p> 2023-12-24T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Riset Ilmu Hukum https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/article/view/2873 Pertanggungjawaban Pidana Anggota Densus 88 dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana 2023-10-19T00:00:04+08:00 Baldwin Orvalla baldwinorv@gmail.com <p><em>ABSTRACT. </em>The police are law enforcement officers tasked with maintaining order and protecting the community. The police are expected to be an example for the community, so it is important for the police to comply with the code of ethics and rules that have been set. However, criminal offences can also be committed by these law enforcement officers. The perpetrator who committed the crime of murder was a member of the 88th detachment which is included in the Indonesian Republican Police (police) unit. In this case the researcher uses a type of research that is qualitative document study. This research is research that examines document studies, namely using various secondary data such as laws and regulations, court decisions, legal theories, and opinions from experts. The element of planning has three conditions: (1) deciding the will calmly; (2) there is sufficient time available from the emergence of the will until the execution of the will; and (3) the execution of the will (action) in a calm atmosphere. The element of planning is fulfilled if these three conditions are met. If one condition is not fulfilled, the element of planning cannot be fulfilled, because the three elements are cumulative, all of which must be fulfilled. Legal people must be precise in using legal terms in considering and deciding. The accuracy in using criminal law terms can make us more objective in analysing, considering and reviewing cases of premeditated murder.</p> <p><a name="_Toc139886116"></a>ABSTRAK. Polisi merupakan aparat penegak hukum yang bertugas menjaga ketertiban dan mengayomi masyarakat. Polisi diharapkan dapat menjadi contoh bagi masyarakat, sehingga penting bagi polisi untuk menaati kode etik dan aturan yang sudah ditetapkan. Namun Pelaku tindak pidana juga dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum tersebut. Pelaku yang melakukan tindak pidana pembunuhan adalah seorang anggota densus 88 yang termasuk dalam satuan Polisi Republik Indonesia (polri). Dalam hal ini peneliti menggunakan jenis penelitian yang bersifat kualitatif studi dokumen. Penelitian ini yaitu penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat juga pendapat dari para ahli. Unsur berencana memiliki tiga syarat: (1) memutuskan kehendak dengan tenang; (2) ada ketersediaan waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak; dan (3) pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang. Unsur berencana dinyatakan terpenuhi jika telah terpenuhi tiga syarat ini. Satu syarat tidak terpenuhi maka unsur berencana tidak dapat terpenuhi, karena tiga unsur tersebut bersifat kumulatif, seluruhnya harus terpenuhi. Orang hukum haruslah tepat menggunakan istilah hukum dalam mempertimbangkan dan memutus. Ketepatan dalam menggunakan istilah hukum pidana tersebut dapat menjadikan kita bersikap lebih objektif dalam menganalisis, mempertimbangkan, dan meninjau kasus tindak pidana pembunuhan berencana.</p> 2023-12-24T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Riset Ilmu Hukum https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/article/view/2998 Analisis Yuridis Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga yang Mengakibatkan Kematian 2023-10-19T23:49:33+08:00 M. Noor Farchan Kaka.farchan@Gmail.com Dian Alan dian.alan@unisba.ac.id <p>ABSTRACT-</p> <p>The family is the smallest social unit in society that plays a huge role and influence on the social and personality development of each family member. Conflicts between husband and wife or parent-child are natural, but resolving conflicts with violence is not. Acts of domestic violence (DV) are regulated in Law Number 23 Year 2004 in Indonesia. Domestic violence often occurs in Indonesia due to low legal awareness, and these cases arise in all walks of life. Economic factors and infidelity can cause harm to victims. The number of domestic violence cases in Indonesia has increased and the victims are increasingly diverse. This research uses normative juridical research methods and qualitative normative analysis methods. The results showed that the application of Article 44 paragraph (3) of the Law on the Elimination of Domestic Violence in the judge's decision in case No.722/Pid.Sus/2021/Pn Bdg was not in accordance with the applicable legislation and in imposing a criminal sentence the judge had not given considerations in accordance with the facts revealed at trial, both considerations in terms of material and formal crimes, so that the defendant was not given the maximum criminal sanction.</p> <p>ABSTRAK-</p> <p class="07StyleBodyAbstrak" style="line-height: normal;"><span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;">Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan kepribadian setiap anggota keluarga. Konflik antara suami-istri atau orang tua-anak adalah hal yang wajar, tetapi menyelesaikan konflik dengan kekerasan tidaklah wajar. Tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 di Indonesia. KDRT sering terjadi di Indonesia karena kesadaran hukum yang rendah, dan kasus ini muncul pada semua kalangan masyarakat. Faktor ekonomi dan perselingkuhan dapat menimbulkan kerugian bagi korban. Jumlah kasus KDRT di Indonesia mengalami peningkatan dan semakin beragam korban. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan metode analisis normatif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan Pasal 44 ayat (3) Undang Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam putusan hakim dalam perkara Nomor.722/Pid.Sus/2021/Pn Bdg belum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan dalam menjatuhkan vonis pidana hakim belum memberikan pertimbangan-pertimbangan sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan baik itu pertimbangan dari segi pidana materil maupun formil.sehingga terdakwa tidak dijatuhi sanksi pidana maksimal.</span></p> 2023-12-25T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Riset Ilmu Hukum https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/article/view/2999 Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Rumah Perseorangan yang Objek Jual Belinya Tidak Diserahkan 2023-10-19T23:52:12+08:00 Mochamad Nur Arsyi Rivaldi rivaldiarsyi@gmail.com Rimba Supriatna rimba@unisba.ac.id <p><strong>Abstract.</strong></p> <p>This research describes a land sale and purchase transaction through a Sale and Purchase Binding Agreement (PPJB), a preliminary agreement prior to the making of a land sale and purchase deed. The PPJB's compliance with housing and settlement regulations has been confirmed by the parties, although some contents are not included in it. Nevertheless, the PPJB remains valid and binding. However, in practice, there are home sellers who make defaults by not delivering the object of sale and purchase. The impact of this default allows buyers to demand the fulfillment of achievements. In this context, this research has two main objectives: understanding the suitability of the PPJB with housing and settlement regulations and understanding the legal consequences of an individual house sale and purchase agreement when the seller does not hand over the object of sale and purchase after making a PPJB.The research uses a normative juridical approach method with analytical descriptive specifications. Data was collected through literature study using primary, secondary, and tertiary legal materials. The analysis was conducted using a qualitative juridical approach. The results show that the PPJB fulfills the legal requirements of the agreement and its content is in accordance with housing and settlement regulations. However, the seller's default action that refuses to hand over the object of sale and purchase after the PPJB remains a violation.</p> <p>Abstrak.</p> <p class="07StyleBodyAbstrak" style="line-height: normal;"><span lang="SV" style="letter-spacing: 0pt;">Penelitian ini menjelaskan transaksi jual beli tanah melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), sebuah perjanjian pendahuluan sebelum pembuatan Akta Jual Beli tanah. Kesesuaian PPJB dengan peraturan perumahan dan permukiman telah dipastikan oleh para pihak, meskipun beberapa muatan tidak tercantum di dalamnya. Meskipun demikian, PPJB tetap sah dan mengikat. Namun, dalam praktiknya, terdapat penjual rumah yang melakukan wanprestasi dengan tidak menyerahkan objek jual beli. Dampak dari wanprestasi ini memungkinkan pembeli untuk menuntut pemenuhan prestasi. Dalam konteks ini, penelitian ini memiliki dua tujuan utama: memahami kesesuaian PPJB dengan peraturan perumahan dan permukiman serta memahami konsekuensi hukum dari perjanjian jual beli rumah perseorangan ketika penjual tidak menyerahkan objek jual beli setelah membuat PPJB. Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi deskriptif analitis. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Analisis dilakukan dengan pendekatan yuridis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PPJB memenuhi syarat sah perjanjian dan muatannya sesuai dengan peraturan perumahan dan permukiman. Namun, tindakan wanprestasi penjual yang menolak menyerahkan objek jual beli setelah PPJB tetap merupakan pelanggaran..</span></p> 2023-12-25T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Riset Ilmu Hukum