Akibat Hukum Perkawinan yang Salah Satu Pihak Berpindah Agama Pasca Perkawinan ditinjau dari Undang-undang No.16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
DOI:
https://doi.org/10.29313/jrih.v1i2.446Keywords:
Perkawinan, Murtad, Hak asuh anakAbstract
Abstract. In Islamic law the marital status is Faskh or damaged and this is also reinforced by the MUI
Fatwa. Meanwhile, regarding the legal consequences of religious conversion on child custody, if it
refers to Islamic law, the Muslim party has the right to take care of his child if one of the husband and
wife is an infidel. However, in the Decision of Case Number 0117/Pdt.G/2016/PA.Prgi, the child who
is the object of the dispute falls his custody (hadhanah) to his apostate mother. The Panel of Judges
based their argument on the application of the legal principle regarding "BEST INTEREST FOR THE
CHILDREN" because it was known from the facts of the trial that the child was still breastfeeding
and of course the custody rights of the mother could not be released even though the mother was an
apostate.
Abstrak. Dalam hukum Islam status perkawinannya adalah fasakh atau rusak dan hal ini diperkuat
pula dengan adanya Fatwa MUI. Sedangkan mengenai akibat hukum perpindahan agama terhadap
hak asuh anak jika merujuk pada hukum Islam maka pihak yang beragama Islam yang berhak
mengasuh anaknya jika ada salah satu dari pasangan suami Istri yang kafir. Tetapi dalam Putusan
Perkara Nomor 0117/Pdt.G/2016/PA.Prgi anak yang menjadi obyek sengketa tersebut jatuh hak
asuhnya (hadhanah) pada ibunya yang telah murtad. Majelis Hakim mendasarkan dalil mereka pada
penerapan asas hukum mengenai “KEPENTINGAN YANG TERBAIK BAGI ANAK” karena
diketahui dari fakta sidang bahwa Anak masih dalam kondisi menyusui dan tentunya tidak bisa
dilepaskan hak asuh dari Ibunya walupun Ibu dalam kondisi murtad.